Jumat, 07 Juni 2013

Air Terjun Guruh Gemurai

Air Terjun Guruh Gemurai ini terletak di daerah perbatasan Sumbar - Riau yang berada dikawasan hutan lindung Bukit Betabuh. Tepatnya di Desa Kasang, Kecamatan Kuantan Mudik (Lubuk Jambi), Kabupaten Kuantan Singingi, Propinsi Riau. Air terjun ini memiliki dua curahan air, curahan pertama memiliki ketinggian hampir 20 meter. Selain itu di dasar air terjun terdapat kolam penampungan yang bisa dipergunakan untuk mandi.

Air terjun ini telah menjadi primadona wisata alam di Kabupaten Kuantan Singingi, memang telah menjadi salah satu primadona, khususnya di kuansing dan sekitarnya. selain jaraknya yang tidak terlalu jauh dari ibukota kabupaten, di Teluk Kuantan. akses menuju tempat wisata ini juga sangat lancar. Oleh karena itu, tempat ini tidak hanya dikunjungi oleh remaja saja, tetapi juga sebagai tujuan untuk liburan keluarga. Selain menikmati air terjun, pengunjung juga bisa menikmati, panorama keindahan alam kuantan singingi, dari atas bukit.

Beberapa fasilitas yang tersedia adalah jalan yang sudah beraspal, areal parkir, arena bermain dan mandi, pentas terbuka untuk mengadakan acara-acara, seperti konser musik dan lainnya, juga mushola. Tiket masuk adalah Rp. 3000 untuk orang dewasa dan Rp. 1000 untuk anak-anak. Sedangkan biaya parkir Rp. 1000 untuk kenderaan roda dua dan Rp. 1.500 untuk kenderaan roda empat.

Selasa, 04 Juni 2013

Cerita Awal Mula Nama Kota Dumai



Konon, pada zaman dahulu kala, di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang Ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai.

Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu. Mereka mengamati ketujuh putri tersebut dari balik semak-semak. Secara diam-diam, sang Pangeran terpesona melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain adalah Putri Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih, “Gadis cantik di lubuk Umai....cantik di Umai. Ya, ya.....d'umai...d‘umai....” Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang Pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.

Beberapa hari kemudian, sang Pangeran mengirim utusan untuk meminang putri itu yang diketahuinya bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu.

Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang Pangeran. “Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.” Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang Pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi. Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.

Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan, rakyatnya banyak yang tewas. Melihat negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit Hulu Sungai Umai.

Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai. Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala. Tak sampai separuh malam, pasukan Pangeran Empang Kaula dapat dilumpuhkan. Pada saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datanglah utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala.

Melihat kedatangan utusan tersebut, sang Pangeran yang masih terduduk lemas menahan sakit langsung bertanya, “Hai orang Seri Bunga Tanjung, apa maksud kedatanganmu ini?”. Sang Utusan menjawab, “Hamba datang untuk menyampaikan pesan Ratu Cik Sima agar Pangeran berkenan menghentikan peperangan ini. "Perbuatan kita ini telah merusakkan bumi sakti rantau bertuah dan menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Siapa yang datang dengan niat buruk, malapetaka akan menimpa, sebaliknya siapa yang datang dengan niat baik ke negeri Seri Bunga Tanjung, akan sejahteralah hidupnya,” kata utusan Ratu Cik Sima menjelaskan. Mendengar penjelasan utusan Ratu Cik Sima, sadarlah Pangeran Empang Kuala, bahwa dirinyalah yang memulai peperangan tersebut. Pangeran langsung memerintahkan pasukannya agar segera pulang ke Negeri Empang Kuala.

Keesokan harinya, Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh putrinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya Ratu Cik Sima, karena ketujuh putrinya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Mereka mati karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa, kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan. Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh putrinya, maka Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia.

Sejak peristiwa itu, masyarakat Dumai meyakini bahwa nama kota Dumai diambil dari kata “d‘umai” yang selalu diucapkan Pangeran Empang Kuala ketika melihat kecantikan Putri Mayang Sari atau Mayang Mengurai. Di Dumai juga bisa dijumpai situs bersejarah berupa pesanggarahan Putri Tujuh yang terletak di dalam komplek kilang minyak PT Pertamina Dumai. Selain itu, ada beberapa nama tempat di kota Dumai yang diabadikan untuk mengenang peristiwa itu, di antaranya: kilang minyak milik Pertamina Dumai diberi nama Putri Tujuh; bukit hulu Sungai Umai tempat pertapaan Jin diberi nama Bukit Jin. Kemudian lirik Tujuh Putri sampai sekarang dijadikan nyanyian pengiring Tari Pulai dan Asyik Mayang bagi para tabib saat mengobati orang sakit.

Sumber : http://www.kudunyahoo.com/

Sejarah Benteng Huis Van Behauring Bengkalis



Benteng Huis Van Behauring adalah penjara Belanda yang dibangun dengan dua lapis tembok berbentuk gedung serupa. Bagian lapis luar gedung dijadikan semacam kantor bagi sipir, sementara bagian dalamnya khusus untuk tahanan.
Benteng Huis Van Behauring menjadi salah satu wisata sejarah di Bengkalis. Benteng wisata sejarah Bengkalis ini berbentuk liter U. Sayangnya Huis Van Behauring kurang terawat untuk dijadikan objek wisata. Gedung kokoh tersebut terbagi menjadi 25 ruang tahanan. Ruanganya kecil-kecil, setiap ruang-tahanan hanya ada jendela kecil yang bersel, gelap karena sejak awal tidak disertai intalasi listrik sama sekali.

Dulunya para narapidana di dalamnya bukan saja warga setempat, tapi juga buangan dari daerah lain. Makanya sekarang, di Bengkalis banyak ditemui kuburan raja-raja dari berbagai daerah, karena kemungkinan mereka merupakan tawanan yang akhirnya meninggal di dalam penjara.

Keadaan situs sejarah Huis Van Behauring kini sungguh menyedihkan, sebab tidak terawat serta tidak diperhatikan oleh pemerintah setempat. Padahal, jika dipugar dan dipoles bangunan kono Belanda ini bisa menjadi Objek Wisata Andalan Bengkalis. Huis Van Behauring saat ini hanya dirawat oleh seorang ibu tua serta anak-anaknya yang-tinggal disana. Mereka adalah anak keturunan pegawai penjara ini setelah diambil alih dari Belanda. 



Sabtu, 01 Juni 2013

Monumen Pahlawan Kerja

Mungkin banyak yang tidak tahu, ada pembangunan rel kereta api di Riau. Jalur rel yang memanjang dari Pekanbaru ke Muara Sijunjung, Sumatra Barat, ini dibangun saat penjajahan Jepang. Namun kini nyaris tak berbekas. Hanya menyisakan cerita yang mengharukan. Sehingga kerap disebut Pakan Baroe Death Railway.
Seonggok monumen sederhana, peringatan matinya ribuan pekerja romusha berdiri di dekat pemakaman umum, Jalan Kaharuddin Nasution, Simpang Tiga, Pekanbaru. Monumen ini disebut Monumen Pahlawan Kerja, diresmikan pada 1978 oleh Gubernur Riau, HR Soebrantas. Tak jauh dari monumen, ada peninggalan lokomotif uap dengan nomor C 3322 berwarna hitam. Gerbongnya sudah tidak ada, relnya pun yang tersisa hanya pada penggalan sisa lokomotif saja.
Penggalan lokomotif ini, diletakkan di atas beton. Di bawahnya ada relief lukisan tentangkejamnya Jepang mempekerjakan romusha. Di atas penggalan lokomotif, ada monumen bertuliskan Pahlawan Kerja. Di antara hamparan kuburan, bercampur dengan kuburan massal yang tak bernama.
Monumen dan lokomotif ini punya cerita kuat. Lokomotif uap ini hanya sebagian peningggalan saja, rel keretanya nyaris tidak ada. Padahal dulu, daerah ini merupakan lintasan rel kereta api Pekanbaru-Muara Sijunjung. Pengerjaan jalur lintasan kereta api sepanjang 220 KM ini, pada April 1943 sampai 15 Agustus 1945. Jalurnya dari Pekanbaru melewati Kampar Kiri, Lipat Kain, Kota Baru, Logas, Lubuk Ambacang sampai ke Muara Sijunjung, Sumatera Barat. Para romusha yang dipaksa mengerjakan proyek mercusuar ini, hanya menggunakan peralatan sederhana, lebih mengandalkan tenaga manusia.
Meski di Riau sendiri nyaris tak berbekas, ternyata monumen serupa juga diabadikan di Inggris. Bertuliskan The Sumatera Rail Way di National Memorial Arboretum in Staffordshire, dan didirikan Agustus 2001 lalu. Ini untuk mengenang ribuan tentara POW (Prisoner Of War) yang tewas sebagai tahanan. Diabadikan dengan menunjukkan peta pengerjaan kereta api sumatera yang mematikan itu.
Diperkirakan, ada ribuan pekerja yang meninggal saat mengerjakan proyek kilat ini. Mereka terdiri dari romusha yang dikirim dari Jawa dan daerah lain, ditambah ribuan tawanan perang berkebangsaan Inggris, Belanda, Amerika dan Selandia Baru. Mereka diletakkan di sepanjang pengerjaan proyek pembangunan. Ada 16 kamp penampungan untuk para tawanan dan pekerja. Tersebar di beberapa titik, seperti Teratak Buluh, Lubuk Sakat, Sungai Pagar, Lipat Kain, Kota Baru, Tapoi, Petai Logas, Lubuk Ambacang, Sungai Kuantan, dan Muara.
Tempat penampungan romusha yang dikenal dengan barak ini, konon hanya fasilitas seadanya untuk berteduh. Bahkan banyak kamp yang dibuat hanya beralaskan tanah, sehingga pada saat hujan tiba, kamp kamp tersebut berlumpur. Selain itu, persediaan makanan dan kesehatan untuk pekerja sangat tidak diperhatikan. Bahkan pekerja banyak yang hanya menggunakan pakaian sehelai. Beragam penyakit menghampiri, apalagi banyak pekerja yang kurus kelaparan dan meninggal di proyek jalur maut tersebut. Gambaran penderitaan ini sebagian terlukis di relief monumen, dibuat untuk mengenang kekejaman romusha Jepang.


Sumber : http://www.kaskus.co.id

Jumat, 31 Mei 2013

Benteng Tujuh Lapis, Rokan Hulu

Benteng Tujuh Lapis
Benteng tujuh lapis berada di desa Dalu-dalu, Kecamatan Tambusai sekitar 23 km dari makam raja-raja Rambah. Benteng tanah yang dibuat masyarakat dalu-dalu pada zaman penjajahan Belanda, atas petuah Tuanku Tambusai di atas bumbun tanah ditanam bambu atau aur berduri. Bekas benteng tersebut yang ditinggalkan Tuanku Tambusai pada tanggal 28 Desember 1839. Di sekitar daerah dalu-dalu ini juga terdapat beberapa benteng-benteng yang disebut Kubu. Benteng ini terdiri dari tujuh lapis dengan gundukan tanah mencapai tinggi 11 meter yang ditanam bambu berduri tahun 1838 – 1839.
Letkol Michele datang ke Dalu-dalu untuk menaklukkan benteng, akhirnya benteng dapat dikuasai, dan Tuanku Tambusai bersamaan dengan sebagian prajurit meninggal di Negeri Sembilan Malaysia. Kegigihan perjuangan Tuanku Tambusai oleh Belanda diberi gelar kepadanya ”De Padrische Tijger Van Rokan” berarti Harimau Padri dari Rokan.
Selain Tuanku Tambusai Sultan Zainal Abidin juga pernah menggunakan Benteng ini dalam melawan pemberontak negeri. Sekarang Benteng ini sudah tidak terlihat bentuk aslinya. Pemerintah Rokan Hulu akan mengupayakan merenovasi situs sejarah ini.
Benteng Tujuh Lapis bertembok tebal, kokoh tujuh lapis, diperkuat dengan tanaman bambu berduri (aur duri) dan parit sedalam sepuluh meter. Benteng ini luasnya menyamai sebuah kampung. Dengan nilai perjuangan yang melekat pada benteng ini, menjadikannya sebagai salah satu objek wisata budaya dan peninggalan sejarah perjuangan masyarakat Riau menentang penjajah.



Rabu, 29 Mei 2013

Sejarah Kota Pekanbaru

Mesjid Agung
An-Nur

a. Nama Pekanbaru

Senapelan itu lah nama yang dikenal sebelum nama Pekanbaru. Pekanbaru dahulunya adalah kawasan ladang, dengan adanya perubahan dari hari ke hari daerah ini seakan disulap menjadi sebuah perkampungan yang dinamakan dengan Senapelan. Perkampungan Senapelan kemudian berpindah ke sebuah pemukiman, yang selanjutnya disebut dengan dusun Payung Sekaki, letaknya berada tepian muara Sungai Siak.
Perkembangan Senapelan sangat erat kaitannya dengan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Awal mulanya semenjak Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah tinggal di Senapelan. Beliau Mendirikan istana miliknya di daerah yang bernama Kampung Batu, daerah ini berdekatan dengan kampung Senapelan tersebut.Seiring dengan perkembangan maka pada tanggal 23 Juni 1784, nama Senapelan pun diubah menjadi Pekan Baharu. Setelah penetapan tersebut, Senapelan lebih dikenal dengan nama Pekan Baharu, atau dalam percakapan sehari-hari kita menyebutnya dengan Pekanbaru.

b. Perkembangan Kota Pekanbaru Sebelum Merdeka.

Perkembangan Kota Pekanbaru, pada awalnta tidak bisa terlepas dari fungsi Sungai Siak sebagai jalur transportasi dalam mendistribusikan hasil-hasil bumi dari kawasan pedalaman maupun dari dataran tinggi Minangkabau ke wilayah pesisir yakni Selat Malaka. Sehingga pada abad ke 18 negeri Senapelan ini menjadi kawasan pasar bagi para pedagang yang berasal dari Minangkabau.
Pada tanggal 19 oktober 1919 didasarkan pada Besluit Van Het Inlandsch Zelfbestuur Van Siak No. 1, maka Pekanbaru ditetapkan sebagai bagian dari Distrik Kesultanan Siak. Akan tetapi pada tahun 1931, Pekanbaru dimasukan ke bagian wilayah Kampar Kiri yang dikepalai seorang controleur yang berstatus landschap dan berkedudukan di Pekanbaru sampai tahun 1940. Selanjutnya menjadi Ibukota Onderafdeling Kampar Kiri sampai 1942. Setelah Jepang mengusai, Pekanbaru dikepalai oleh gubernur militer yang diberi istilah gokung.

c. Perkembangan Kota Pekanbaru Setelah Merdeka.

Setelah Indinesia merdeka, berdasarkan pada ketetapan Gubernur Sumatra di Kota Medan tanggal 17 Mei 1946 No. 103, Pekanbaru dijadikan daerah otonom yang disebut dengan Haminte atau Kotapraja. Selanjtunya pada 19 Maret 1956, didasarkan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1956 RI, Pekanbaru pun diubah menjadi sebuah daerah otonom kota kecil yang terkabung dalam lingkaran Provinsi Sumatra Tengah.
Jembatan Layang

Selanjutnya tanggal 9 Agustus 1957 didasarkan pada Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 RI, Pekanbaru pun masuk dalam bagian dari wilayah Provinsi Riau yang baru saja terbentuk. Kota Pekanbaru sendiri baru resmi menjadi ibukota Provinsi Riau pada tanggal 20 januari 1959 didasarkan pada Kepmendagri Desember 52/I/44-25. Sebelumnya yang menjadi ibukota Provinsi Riau adalah Tanjung Pinang yang sekarang telah menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau.
Saat ini Pekanbaru telah berkembangpesat menjadi sebuah kota perdagangan yang cukup prospek mengingat posisinya berada pada jalur Internasional yang strategis. Perkembangan perdagangan di Pekanbaru dijangkakan akan semakin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kota ini bahkan sempat mendapatkan julukan sebagai Kota Seribu Ruko, karena jumlah ruko sebagai pusat perdagangan yang hampir ditemukan sepanjang jalan Kota Pekanbaru. Visi Riau 2020 merangkum rencana pembangunan dan pengembangan Kota Pekanbaru khususnya dan Provinsi Riau pada umumnya.

Sekian dulu mengenai sejarah Kota Pekanbaru, mohon masukan demi kesempurnaan tulisan ini.

Senin, 27 Mei 2013

Candi Muara Takus


Candi Muara Takus merupakan candi terbesar di Sumatra. Stupa candi ini tidak lazim seperti candi aliran Budha lainnya. Umumnya Stupa candi-candi Budha berbentuk lonceng duduk. Lokasi wisata ini terletak sekitar 134 KM dari Kota Pekanbaru. Candi Muara Takus ini berada di desa Muara Takus, Kecematan Koto Kampar, Kabupaten Kampar.
Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74x74 M. Sementara candi itu sendiri berukuran 7x7 M. Diluar areal kompleks terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5x1,5 yang mengelilingi kompleks ini sampai ke pinggir sungai kampar kanan.
Candi Muara Takus merupakan candi penganut Agama Budha. Ada yang berpendapat bahwa candi ini peniggalan Agama Budha yang datang dari India dan ada pula yang berpendapat bahwa ini merupakan peninggalan dari kerajaan Sriwijaya. Kompleks Candi Muara Takus merupakan satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau dan salah satu tempat wisata yang banyak diminati oleh para wisatawan.

Sabtu, 25 Mei 2013

Siak Sri Indrapura


Secara geografis Kabupaten Siak terletak pada koordinat 10 16’ 30” — 00 20’ 49” Lintang Selatan dan 1000 54’ 21” 102° 10’ 59” Bujur Timur. Secara fisik geografls memiliki kawasan pesisir pantai yang berhampiran dengan sejumlah negara tetangga dan masuk kedalam daerah segitiga pettumbuhan (growth triangle) Indonesia - Malaysia - Singapura.
Bentang alam Kabupaten Siak sebagian besar terdiri dari dataran rendah di bagian Timur dan sebagian dataran tinggi di sebelah barat. Pada umumnya struktur tanah terdiri dan tanah podsolik merah kuning dan batuan dan alluvial serta tanah organosol dan gley humus dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah. Lahan semacam ini subur untuk pengembangan pertanian, perkebunan dan perikanan. Daerah mi beriklim tropis dengan suhu udara antara 25° -- 32° Celsius, dengan kelembaban dan curah hujan cukup tinggi.
Selain dikenal dengan Sungai Siak yang membelah wilayah Kabupaten Siak, daerah ini juga terdapat banyak tasik atau danau yang tersebar di beberapa wilayah kecamatan. Sungai Siak sendiri terkenal sebagai sungai terdalam di tanah air, sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi, terutama sebagai sarana transportasi dan perhubungan. Namun potensi banjir diperkirakan juga terdapat pada daerah sepanjang Sungai Siak, karena morfologinya relatif datar.
Selain Sungai Siak, daerah ini juga dialiri sungai-sungai lain, yaitu: Sungai Mandau, Sungai Gasib, Sungai Apit, Sungai Tengah, Sungai Rawa, Sungai Buantan, Sungai Limau, dan Sungai Bayam. Sedangkan danau-danau yang tersebar di daerah ini adalah: Danau Ketialau, Danau Air Hitam, Danau Besi, Danau Tembatu Sonsang, Danau Pulau Besar, Danau Zamrud, Danau Pulau Bawah, Danau Pulau Atas dan Tasik Rawa.
Berdasarkan perhitungan sikius hidrologi, 15% surplus air dan curah hujan rata-rata bulanan menjadi aliran permukaan, maka memungkinkan terjadinya banjir musiman pada bulan-bulan basah. Dan analisis data curah hujan diketahui bahwa bulan basah berlangsung pada bulan Oktober hingga Desember, sedangkan bulan kering pada bulan Juni hingga Agustus. Distribusi curah hujan semakin meninggi ke arah Pegunungan Bukit Barisan di bagian barat wilayah Propinsi Riau.

Kuantan Singingi

Kuantan singingi atau biasa disingkat Kuansing adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, Indonesia. Wilayah kabupaten yang dulu dikenal sebagai Rantau Kuantan atau daerah parantauan orang-orang Minangkabau ini dilintasi oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Kuantan ( kini dikenal dengan sungai indragiri ) dan Sungai Singingi. Kedua sungai tersebut memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kuantan seperti minum, mandi, dan sebagainya. Selain itu, sungai tersebut juga berfungsi sebagai sarana transportasi untuk menghubungkan satu desa dengan desa yang lainnya.
Dapat dipastikan bahwa perahu sungai merupakan sarana transportasi air yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat Kuantan, khususnya mereka yang bermukim di kawasan tepi sungai. Salah satu jenis dari perahu sungai tersebut adalah jalur. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Ketiga (2005:454), kata jalur diartikan sebagai sampan kecil yang dibuat dari sebatang pohon. Sementara itu, dalam dialek Melayu masyarakat Kuatan kata jalur diartikan sebagai perahu yang memiliki panjang kurang lebih 25 hingga 30 meter dan lebar kurang lebih 1 hingga 1,5 meter. Jalur dalam pengertian masyarakat Kuantan ini dibuat dari sebatang pohon kayu gelondongan tanpa dibelah-belah atau dipotong-potong atau pun disambung (Suwardi, MS., 1984/1985:32).

Pengertian jalur yang dimaksud oleh KBBI dan masyarakat Kuantan di atas memang tampak bertolak belakang. Meski demikian, kedua pengertian tersebut memiliki keterkaitan jika dilihat dari sejarah perkembangan jalur itu sendiri. Sejak awal abad ke-17 M, saat transportasi darat belum berkembang, perahu merupakan alat transportasi utama bagi masyarakat desa di Rantau Kuatan, terutama bagi mereka yang tinggal di sepanjang Sungai Kuantan antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir.

Pada awalnya, jenis perahu yang digunakan oleh masyarakat Kuatan disebut dengan perahu kenek yang berukuran kecil dengan panjang sekitar 2-2,5 meter, lebar 60 cm, dan tebal 2 cm. Perahu yang hanya memuat satu orang ini biasa digunakan sebagai alat transportasi pribadi ke ladang untuk memotong/menakik getah atau karet. Selain itu, perahu ini juga digunakan untuk memancing, menambai (menangkap ikan dengan semacam jaring berukuran kecil), dan mengguntang (sejenis alat penangkap ikan dengan pancing yang dikaitkan pada apung-apung (Suwardi, 1984/1985:34-36).

Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat Kuantan menciptakan perahu yang ukurannya lebih besar yang disebut dengan perahu muatan berompek, yaitu perahu yang dapat memuat empat orang. Jenis perahu ini biasa digunakan untuk menjala ikan maupun mengangkut padi dan hasil tanaman lainnya. Selanjutnya, mereka menciptakan lagi sebuah jenis perahu yang disebut dengan perahu tambang.Tambang adalah bahasa daerah setempat yang berarti ongkos atau biaya. Jadi, perahu yang mampu memuat sekitar 8 hingga 15 orang ini digunakan sebagai alat transportasi umum oleh masyarakat setempat dari satu desa ke desa yang letaknya saling berseberangan di tepi sungai.

Setelah itu, masyarakat Kuantan menciptakan perahu yang disebut dengan perahu godang¸ yang panjangnya sekitar 15-20 meter dan lebar 1-1,5 meter. Perahu yang daya angkutnya mencapai satu ton ini digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti karet, kelapa, tebu, dan barang-barang dagangan (seperti beras, gula, tepung). Perahu inilah kemudian yang menjadi cikal bakal terciptanya perahu yang ukurannya lebih besar, yang kini lazim dikenal dengan nama jalur. Perahu jenis ini memiliki ukuran panjang sekitar 25-30 meter dengan lebar sekitar 1,5 meter.

Tidak diketahui secara pasti kapan jalur ini diciptakan. Namun, dapat dipastikan bahwa jalur mulai poluler di kalangan masyarakat Kuantan sekitar awal ke-19 M. (Suwardi, 1984/1985:27). Dari segi bentuk dan ukuran, jalur ini lebih halus, ramping, dan lebih panjang dibandingkan dengan perahu godang. Perahu tradisional masyarakat Kuantan ini juga dilengkapi dengan haluan dan kemudi yang panjang, sertaselembayung yang berukir untuk memberi keindahan pada jalur tersebut. Selain sebagai mahkota sebuah jalur, selembayung berfungsi sebagai tempat pegangan bagi tukang onjoi (pembuat irama untuk menggerakkan jalur).

Bentuk jalur semakin berkembang dengan dilengkapi dengan berbagai bentuk ukiran seperti kepala ular, buaya atau harimau, baik dibagian lambung maupun selembayung. Selain itu jalur juga dilengkapi dengan payung, tali-temali, selendang dan gulang-gulang ( tiang tengah ). Perubahan tersebut menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar tidak alat angkut, tetapi juga untuk menunjukkan identitas sosisal bagi yang mengendarainya. Jalur yang berhias ini hanya bisa dikendarai oleh para penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk.
Pada masa berikutnya, fungsi jalur terus berkembang. Sekitar tahun 1903, perahu tradisional masyarakat Kuantan ini mulai digunakan sebagai sarana lomba dalam pesta rakyat yang lazim dikenal sebagaipacu jalur. Pada mulanya, jalur digunakan untuk berpacu dalam merayakan hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, atau Tahun Baru 1 Muharam. Seiring kedatangan Kolonial Belanda sekitar tahun 1905, tradisi pacu jalur dimanfaatkan untuk merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina pada setiap tanggal 31 Agustus. Pesta yang meriah tersebut oleh masyarakat Kuantan dianggap sebagai datangnya tahun baru sehingga mereka menamakannya TAMBARU, yaitu singkatan dari Tahun Baru (Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1988).

Ketika penjajah Jepang masuk ke wilayah Indonesia,termasuk daerah kuantan, tradisi pacu jalur sempat terhenti. Setelah masa kemerdekaan, tradisi ini kembali diadakan secara rutin untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indinesia ( 17 agustus ) dan biansanya diselenggarakan pada tanggal 23-26 agustus. Hingga saat ini, trdisi pacu jalur dikemas menjadi acara pesitval untuk menarik minat para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Festival yang meriah ini kemudian ditetapkan sebagai Kalender Pariwisata Nasional.

Pacu Jalur Kuantan Singingi

Dua Jalur Sedang Berpacu
Tradisi pacu jalur adalah kegiatan olahraga dayung tradisonal dari Kabupaten Kuantan Singingi di Provinsi Riau. Olahraga dayung ini menggunakan perahu yang terbuat dari kayu gelondongan yang panjang yang disebut Jalur. Pacu Jalur diselenggarakan setiap tahun dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia. Festival pacu jalur setiap tahunnya selalu dimeriahkan oleh ratusan perahu dan ribuan atlet dayung, begitu juga dengan warga masyarakat yang datang berbondong-bondong untuk menyaksikan secara langsung festival pacu jalur tersebut. 
Perahu gelondongan yang digunakan untuk balap dayung di Teluk Kuantan ini rata-rata panjangnya 25 sampai 40 meter. Setiap perahu menampung sekitar 40 sampai 60 atlet dayung. Tradisi pacu jalur sampai sekarang masih dilestarikan dan telah menjadi salah satu kegiatan rutin tahunan Dinas Pariwisata Kabupaten Kuantan Sangingi. Kemeriahan festival pacu jalur mampu menarik ribuan wisatawan dari dalam dan luar negeri.
Pacu jalur dari Kuantan Singingi memiliki sejarah dari kegiatan masyarakat setempat pada tahun 1900-an. Di masa lalu masyarakat daerah Kuantan Singingi menggunakan perahu-perahu gelondongan sebagai sarana transportasi.

Perahu gelondongan juga digunakan untuk mengangkut dan memindahkan hasil bumi atau hasil hutan dari daerah Kuantan Singingi.