Sabtu, 01 Juni 2013

Monumen Pahlawan Kerja

Mungkin banyak yang tidak tahu, ada pembangunan rel kereta api di Riau. Jalur rel yang memanjang dari Pekanbaru ke Muara Sijunjung, Sumatra Barat, ini dibangun saat penjajahan Jepang. Namun kini nyaris tak berbekas. Hanya menyisakan cerita yang mengharukan. Sehingga kerap disebut Pakan Baroe Death Railway.
Seonggok monumen sederhana, peringatan matinya ribuan pekerja romusha berdiri di dekat pemakaman umum, Jalan Kaharuddin Nasution, Simpang Tiga, Pekanbaru. Monumen ini disebut Monumen Pahlawan Kerja, diresmikan pada 1978 oleh Gubernur Riau, HR Soebrantas. Tak jauh dari monumen, ada peninggalan lokomotif uap dengan nomor C 3322 berwarna hitam. Gerbongnya sudah tidak ada, relnya pun yang tersisa hanya pada penggalan sisa lokomotif saja.
Penggalan lokomotif ini, diletakkan di atas beton. Di bawahnya ada relief lukisan tentangkejamnya Jepang mempekerjakan romusha. Di atas penggalan lokomotif, ada monumen bertuliskan Pahlawan Kerja. Di antara hamparan kuburan, bercampur dengan kuburan massal yang tak bernama.
Monumen dan lokomotif ini punya cerita kuat. Lokomotif uap ini hanya sebagian peningggalan saja, rel keretanya nyaris tidak ada. Padahal dulu, daerah ini merupakan lintasan rel kereta api Pekanbaru-Muara Sijunjung. Pengerjaan jalur lintasan kereta api sepanjang 220 KM ini, pada April 1943 sampai 15 Agustus 1945. Jalurnya dari Pekanbaru melewati Kampar Kiri, Lipat Kain, Kota Baru, Logas, Lubuk Ambacang sampai ke Muara Sijunjung, Sumatera Barat. Para romusha yang dipaksa mengerjakan proyek mercusuar ini, hanya menggunakan peralatan sederhana, lebih mengandalkan tenaga manusia.
Meski di Riau sendiri nyaris tak berbekas, ternyata monumen serupa juga diabadikan di Inggris. Bertuliskan The Sumatera Rail Way di National Memorial Arboretum in Staffordshire, dan didirikan Agustus 2001 lalu. Ini untuk mengenang ribuan tentara POW (Prisoner Of War) yang tewas sebagai tahanan. Diabadikan dengan menunjukkan peta pengerjaan kereta api sumatera yang mematikan itu.
Diperkirakan, ada ribuan pekerja yang meninggal saat mengerjakan proyek kilat ini. Mereka terdiri dari romusha yang dikirim dari Jawa dan daerah lain, ditambah ribuan tawanan perang berkebangsaan Inggris, Belanda, Amerika dan Selandia Baru. Mereka diletakkan di sepanjang pengerjaan proyek pembangunan. Ada 16 kamp penampungan untuk para tawanan dan pekerja. Tersebar di beberapa titik, seperti Teratak Buluh, Lubuk Sakat, Sungai Pagar, Lipat Kain, Kota Baru, Tapoi, Petai Logas, Lubuk Ambacang, Sungai Kuantan, dan Muara.
Tempat penampungan romusha yang dikenal dengan barak ini, konon hanya fasilitas seadanya untuk berteduh. Bahkan banyak kamp yang dibuat hanya beralaskan tanah, sehingga pada saat hujan tiba, kamp kamp tersebut berlumpur. Selain itu, persediaan makanan dan kesehatan untuk pekerja sangat tidak diperhatikan. Bahkan pekerja banyak yang hanya menggunakan pakaian sehelai. Beragam penyakit menghampiri, apalagi banyak pekerja yang kurus kelaparan dan meninggal di proyek jalur maut tersebut. Gambaran penderitaan ini sebagian terlukis di relief monumen, dibuat untuk mengenang kekejaman romusha Jepang.


Sumber : http://www.kaskus.co.id

Jumat, 31 Mei 2013

Benteng Tujuh Lapis, Rokan Hulu

Benteng Tujuh Lapis
Benteng tujuh lapis berada di desa Dalu-dalu, Kecamatan Tambusai sekitar 23 km dari makam raja-raja Rambah. Benteng tanah yang dibuat masyarakat dalu-dalu pada zaman penjajahan Belanda, atas petuah Tuanku Tambusai di atas bumbun tanah ditanam bambu atau aur berduri. Bekas benteng tersebut yang ditinggalkan Tuanku Tambusai pada tanggal 28 Desember 1839. Di sekitar daerah dalu-dalu ini juga terdapat beberapa benteng-benteng yang disebut Kubu. Benteng ini terdiri dari tujuh lapis dengan gundukan tanah mencapai tinggi 11 meter yang ditanam bambu berduri tahun 1838 – 1839.
Letkol Michele datang ke Dalu-dalu untuk menaklukkan benteng, akhirnya benteng dapat dikuasai, dan Tuanku Tambusai bersamaan dengan sebagian prajurit meninggal di Negeri Sembilan Malaysia. Kegigihan perjuangan Tuanku Tambusai oleh Belanda diberi gelar kepadanya ”De Padrische Tijger Van Rokan” berarti Harimau Padri dari Rokan.
Selain Tuanku Tambusai Sultan Zainal Abidin juga pernah menggunakan Benteng ini dalam melawan pemberontak negeri. Sekarang Benteng ini sudah tidak terlihat bentuk aslinya. Pemerintah Rokan Hulu akan mengupayakan merenovasi situs sejarah ini.
Benteng Tujuh Lapis bertembok tebal, kokoh tujuh lapis, diperkuat dengan tanaman bambu berduri (aur duri) dan parit sedalam sepuluh meter. Benteng ini luasnya menyamai sebuah kampung. Dengan nilai perjuangan yang melekat pada benteng ini, menjadikannya sebagai salah satu objek wisata budaya dan peninggalan sejarah perjuangan masyarakat Riau menentang penjajah.



Rabu, 29 Mei 2013

Sejarah Kota Pekanbaru

Mesjid Agung
An-Nur

a. Nama Pekanbaru

Senapelan itu lah nama yang dikenal sebelum nama Pekanbaru. Pekanbaru dahulunya adalah kawasan ladang, dengan adanya perubahan dari hari ke hari daerah ini seakan disulap menjadi sebuah perkampungan yang dinamakan dengan Senapelan. Perkampungan Senapelan kemudian berpindah ke sebuah pemukiman, yang selanjutnya disebut dengan dusun Payung Sekaki, letaknya berada tepian muara Sungai Siak.
Perkembangan Senapelan sangat erat kaitannya dengan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Awal mulanya semenjak Sultan Abdul Jalil Alamudin Syah tinggal di Senapelan. Beliau Mendirikan istana miliknya di daerah yang bernama Kampung Batu, daerah ini berdekatan dengan kampung Senapelan tersebut.Seiring dengan perkembangan maka pada tanggal 23 Juni 1784, nama Senapelan pun diubah menjadi Pekan Baharu. Setelah penetapan tersebut, Senapelan lebih dikenal dengan nama Pekan Baharu, atau dalam percakapan sehari-hari kita menyebutnya dengan Pekanbaru.

b. Perkembangan Kota Pekanbaru Sebelum Merdeka.

Perkembangan Kota Pekanbaru, pada awalnta tidak bisa terlepas dari fungsi Sungai Siak sebagai jalur transportasi dalam mendistribusikan hasil-hasil bumi dari kawasan pedalaman maupun dari dataran tinggi Minangkabau ke wilayah pesisir yakni Selat Malaka. Sehingga pada abad ke 18 negeri Senapelan ini menjadi kawasan pasar bagi para pedagang yang berasal dari Minangkabau.
Pada tanggal 19 oktober 1919 didasarkan pada Besluit Van Het Inlandsch Zelfbestuur Van Siak No. 1, maka Pekanbaru ditetapkan sebagai bagian dari Distrik Kesultanan Siak. Akan tetapi pada tahun 1931, Pekanbaru dimasukan ke bagian wilayah Kampar Kiri yang dikepalai seorang controleur yang berstatus landschap dan berkedudukan di Pekanbaru sampai tahun 1940. Selanjutnya menjadi Ibukota Onderafdeling Kampar Kiri sampai 1942. Setelah Jepang mengusai, Pekanbaru dikepalai oleh gubernur militer yang diberi istilah gokung.

c. Perkembangan Kota Pekanbaru Setelah Merdeka.

Setelah Indinesia merdeka, berdasarkan pada ketetapan Gubernur Sumatra di Kota Medan tanggal 17 Mei 1946 No. 103, Pekanbaru dijadikan daerah otonom yang disebut dengan Haminte atau Kotapraja. Selanjtunya pada 19 Maret 1956, didasarkan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1956 RI, Pekanbaru pun diubah menjadi sebuah daerah otonom kota kecil yang terkabung dalam lingkaran Provinsi Sumatra Tengah.
Jembatan Layang

Selanjutnya tanggal 9 Agustus 1957 didasarkan pada Undang-Undang Darurat No. 19 Tahun 1957 RI, Pekanbaru pun masuk dalam bagian dari wilayah Provinsi Riau yang baru saja terbentuk. Kota Pekanbaru sendiri baru resmi menjadi ibukota Provinsi Riau pada tanggal 20 januari 1959 didasarkan pada Kepmendagri Desember 52/I/44-25. Sebelumnya yang menjadi ibukota Provinsi Riau adalah Tanjung Pinang yang sekarang telah menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Riau.
Saat ini Pekanbaru telah berkembangpesat menjadi sebuah kota perdagangan yang cukup prospek mengingat posisinya berada pada jalur Internasional yang strategis. Perkembangan perdagangan di Pekanbaru dijangkakan akan semakin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kota ini bahkan sempat mendapatkan julukan sebagai Kota Seribu Ruko, karena jumlah ruko sebagai pusat perdagangan yang hampir ditemukan sepanjang jalan Kota Pekanbaru. Visi Riau 2020 merangkum rencana pembangunan dan pengembangan Kota Pekanbaru khususnya dan Provinsi Riau pada umumnya.

Sekian dulu mengenai sejarah Kota Pekanbaru, mohon masukan demi kesempurnaan tulisan ini.

Senin, 27 Mei 2013

Candi Muara Takus


Candi Muara Takus merupakan candi terbesar di Sumatra. Stupa candi ini tidak lazim seperti candi aliran Budha lainnya. Umumnya Stupa candi-candi Budha berbentuk lonceng duduk. Lokasi wisata ini terletak sekitar 134 KM dari Kota Pekanbaru. Candi Muara Takus ini berada di desa Muara Takus, Kecematan Koto Kampar, Kabupaten Kampar.
Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74x74 M. Sementara candi itu sendiri berukuran 7x7 M. Diluar areal kompleks terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5x1,5 yang mengelilingi kompleks ini sampai ke pinggir sungai kampar kanan.
Candi Muara Takus merupakan candi penganut Agama Budha. Ada yang berpendapat bahwa candi ini peniggalan Agama Budha yang datang dari India dan ada pula yang berpendapat bahwa ini merupakan peninggalan dari kerajaan Sriwijaya. Kompleks Candi Muara Takus merupakan satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau dan salah satu tempat wisata yang banyak diminati oleh para wisatawan.