Kuantan singingi atau biasa disingkat Kuansing adalah salah satu kabupaten di Provinsi Riau, Indonesia. Wilayah kabupaten yang dulu dikenal sebagai Rantau Kuantan atau daerah parantauan orang-orang Minangkabau ini dilintasi oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Kuantan ( kini dikenal dengan sungai indragiri ) dan Sungai Singingi. Kedua sungai tersebut memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kuantan seperti minum, mandi, dan sebagainya. Selain itu, sungai tersebut juga berfungsi sebagai sarana transportasi untuk menghubungkan satu desa dengan desa yang lainnya.
Dapat dipastikan bahwa perahu sungai merupakan sarana
transportasi air yang sangat vital bagi kehidupan masyarakat Kuantan, khususnya
mereka yang bermukim di kawasan tepi sungai. Salah satu jenis dari perahu
sungai tersebut adalah jalur. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Edisi Ketiga (2005:454), kata jalur diartikan
sebagai sampan kecil yang dibuat dari sebatang pohon. Sementara itu, dalam
dialek Melayu masyarakat Kuatan kata jalur diartikan sebagai perahu
yang memiliki panjang kurang lebih 25 hingga 30 meter dan lebar kurang lebih 1
hingga 1,5 meter. Jalur dalam pengertian masyarakat Kuantan ini
dibuat dari sebatang pohon kayu gelondongan tanpa dibelah-belah atau
dipotong-potong atau pun disambung (Suwardi, MS., 1984/1985:32).
Pengertian jalur yang dimaksud
oleh KBBI dan masyarakat Kuantan di atas memang tampak bertolak
belakang. Meski demikian, kedua pengertian tersebut memiliki keterkaitan jika
dilihat dari sejarah perkembangan jalur itu sendiri. Sejak awal abad
ke-17 M, saat transportasi darat belum berkembang, perahu merupakan alat
transportasi utama bagi masyarakat desa di Rantau Kuatan, terutama bagi mereka
yang tinggal di sepanjang Sungai Kuantan antara Kecamatan Hulu Kuantan di
bagian hulu hingga Kecamatan Cerenti di hilir.
Pada awalnya, jenis perahu yang digunakan oleh masyarakat
Kuatan disebut dengan perahu kenek yang berukuran kecil dengan
panjang sekitar 2-2,5 meter, lebar 60 cm, dan tebal 2 cm. Perahu yang hanya
memuat satu orang ini biasa digunakan sebagai alat transportasi pribadi ke
ladang untuk memotong/menakik getah atau karet. Selain itu, perahu ini juga
digunakan untuk memancing, menambai (menangkap ikan dengan semacam
jaring berukuran kecil), dan mengguntang (sejenis alat penangkap ikan
dengan pancing yang dikaitkan pada apung-apung (Suwardi, 1984/1985:34-36).
Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat Kuantan
menciptakan perahu yang ukurannya lebih besar yang disebut dengan perahu
muatan berompek, yaitu perahu yang dapat memuat empat orang. Jenis
perahu ini biasa digunakan untuk menjala ikan maupun mengangkut padi dan hasil
tanaman lainnya. Selanjutnya, mereka menciptakan lagi sebuah jenis perahu yang
disebut dengan perahu tambang.Tambang adalah bahasa daerah setempat
yang berarti ongkos atau biaya. Jadi, perahu yang mampu memuat sekitar 8 hingga
15 orang ini digunakan sebagai alat transportasi umum oleh masyarakat setempat
dari satu desa ke desa yang letaknya saling berseberangan di tepi sungai.
Setelah itu, masyarakat Kuantan menciptakan perahu yang
disebut dengan perahu godang¸ yang panjangnya sekitar 15-20 meter dan
lebar 1-1,5 meter. Perahu yang daya angkutnya mencapai satu ton ini digunakan
untuk mengangkut hasil bumi seperti karet, kelapa, tebu, dan barang-barang
dagangan (seperti beras, gula, tepung). Perahu inilah kemudian yang menjadi
cikal bakal terciptanya perahu yang ukurannya lebih besar, yang kini lazim
dikenal dengan nama jalur. Perahu jenis ini memiliki ukuran
panjang sekitar 25-30 meter dengan lebar sekitar 1,5 meter.
Tidak diketahui secara pasti kapan jalur ini
diciptakan. Namun, dapat dipastikan bahwa jalur mulai poluler di
kalangan masyarakat Kuantan sekitar awal ke-19 M. (Suwardi, 1984/1985:27). Dari
segi bentuk dan ukuran, jalur ini lebih halus, ramping, dan lebih
panjang dibandingkan dengan perahu godang. Perahu tradisional
masyarakat Kuantan ini juga dilengkapi dengan haluan dan kemudi yang panjang,
sertaselembayung yang berukir untuk memberi keindahan
pada jalur tersebut. Selain sebagai mahkota
sebuah jalur, selembayung berfungsi sebagai tempat pegangan bagi
tukang onjoi (pembuat irama untuk menggerakkan jalur).
Bentuk jalur semakin berkembang dengan dilengkapi dengan berbagai bentuk ukiran seperti kepala ular, buaya atau harimau, baik dibagian lambung maupun selembayung. Selain itu jalur juga dilengkapi dengan payung, tali-temali, selendang dan gulang-gulang ( tiang tengah ). Perubahan tersebut menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar tidak alat angkut, tetapi juga untuk menunjukkan identitas sosisal bagi yang mengendarainya. Jalur yang berhias ini hanya bisa dikendarai oleh para penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk.
Pada masa berikutnya, fungsi jalur terus
berkembang. Sekitar tahun 1903, perahu tradisional masyarakat Kuantan ini mulai
digunakan sebagai sarana lomba dalam pesta rakyat yang lazim dikenal
sebagaipacu jalur. Pada mulanya, jalur digunakan untuk berpacu dalam
merayakan hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri,
atau Tahun Baru 1 Muharam. Seiring kedatangan Kolonial Belanda sekitar tahun
1905, tradisi pacu jalur dimanfaatkan untuk merayakan hari ulang
tahun Ratu Wilhelmina pada setiap tanggal 31 Agustus. Pesta yang meriah
tersebut oleh masyarakat Kuantan dianggap sebagai datangnya tahun baru sehingga
mereka menamakannya TAMBARU, yaitu singkatan dari Tahun Baru (Tim Koordinasi
Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1988).
Ketika penjajah Jepang masuk ke wilayah Indonesia,termasuk daerah kuantan, tradisi pacu jalur sempat terhenti. Setelah masa kemerdekaan, tradisi ini kembali diadakan secara rutin untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indinesia ( 17 agustus ) dan biansanya diselenggarakan pada tanggal 23-26 agustus. Hingga saat ini, trdisi pacu jalur dikemas menjadi acara pesitval untuk menarik minat para wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Festival yang meriah ini kemudian ditetapkan sebagai Kalender Pariwisata Nasional.